« Home | Uluran Musik bagi Tunagrahita » | CONTACT US » | Jenis Keterampilan SPM » | <!--[if gte vml 1]> ... » | INFO SPM » | Kurikulum SPM »

Tunagrahita Kita Berbicara di Pentas Dunia

Amran tampak bangga. Sambil bercerita, ia beberapa kali merangkul Michael Rosihan Yacub (13 tahun). ”Michael, waktu olimpiade kemarin bisa dapat medali perak dan perunggu ya. Wah, hebat kan,” katanya sambil menepuk punggung Michael. Sementara yang dipuji hanya mesem-mesem saja.
Kebanggaan Amran amat beralasan. Maklum Michael adalah salah seorang anak yang memiliki keterbatasan intelektual – lazim disebut tunagrahita. Bagi anak tunagrahita dapat berprestasi dalam arena Special Olympics Games 2003 di Dublin, Irlandia, beberapa waktu merupakan sebuah catatan emas. Tak mudah untuk berbicara di pentas dunia itu.
Empat anak Indonesia itu adalah Michael Rosihan Yacub (13 tahun), Amos Berry Selly (16), Robby Eko Raharja (14) serta I Putu Sarwada (20), mampu merebut dua emas, dua perak dan tiga perunggu pada Special Olympics Games 2003 di Dublin, Irlandia. Sebuah pencapaian prestasi yang terbilang spektakuler jika dibandingkan prestasi atlet-atlet Indonesia yang terpuruk di beberapa multievent terakhir.
Mengajari penderita down syndrome memang bukan perkara gampang. Sebab, sang penderita biasanya punya sifat pemalu, tertutup dan cenderung jauh dari lingkungan sekitar. Akibatnya, mereka menjadi mudah marah dan cepat tersinggung. Lebih parah, keluarga sang penderita ikut-ikutan tertutup.
Menurut Amran, para anak tunagrahita, umumnya akan menjadi berani jika sering bertemu dengan komunitas mereka. Dan salah satu cara efektif untuk membuat mereka berani berinteraksi dengan dunia luar adalah mengajak mereka belajar mengejar persaingan dengan sportif. ”Perasaan mereka umumnya sangat sensitif, jadi segala sesuatu yang mereka lakukan harus kita hargai dan berikan pujian,” lanjutnya.
Pendapat pelatih kepala Special Olympics Indonesia (SOIna) itu didukung penuh Ketua Umum SOIna, Dra. Sri Soemarsih Surjadi Soedirdja. ”Olahraga bisa dijadikan semacam terapi guna memacu perkembangan intelektual mereka,” sebutnya. Meski belum ada penelitian resmi, lanjut Sri Soemarsih, dengan melibatkan mereka dalam kegiatan olahraga, ternyata dapat meningkatkan kemampuan intelektual para penyandang tunagrahita dan down syndrome itu.
Lebih jauh, Sri Soemarsih mencontohkan bagaimana kemajuan yang dialami para atlet down syndrome yang beberapa waktu lalu mengikuti Special Olympics Games 2003 di Dublin, Irlandia. ”Setelah diasramakan anak-anak yang tadinya selalu tergantung kepada pengasuhnya, ternyata lebih mandiri dan lebih percaya diri dibanding sebelumnya,” imbuhnya.
Manajer Kesehatan Atlet Special Olympics Internasional (SOI) David Evangelista juga punya pendapat beda-beda tipis dengan Sri Soemarsih. Katanya, aktivitas olahraga sangat membantu tingkat intelektual para penyandang tunagrahita. Lewat olahraga anak-anak tunagrahita itu menjadi lebih berani dan mandiri. Belum lagi, pada olimpiade khusus tunagrahita itu semua peserta dapat penghargaan. Tapi siapa yang tak bangga bila dapat dikalungi medali kemenangan.
Untuk mendukung kemajuan intelektual anak-anak tunagrahita peranan dokter juga dibutuhkan. David yang hadir sebagai dokter tamu dan peneliti dalam acara ”Healthy Athletes Program” yang digelar SOIna beberapa waktu lalu di Jakarta, mengungkapkan peran dokter dalam menangani pasien tunagrahita sangat berpengaruh terhadap kemajuan mereka. Pasalnya, dalam menangani pasien tunagrahita juga dibutuhkan keahlian khusus.
Hal senada diungkapkan Dokter S Adiningrum Wiradidjaja, Direktur Klinik SOIna. Menurut Adiningrum, di Indonesia masih banyak para dokter yang enggan menerima pasien tunagrahita. ”Mereka umumnya malas menerima pasien tunagrahita karena membutuhkan ketelatenan ketimbang memeriksa pasien normal,” ungkapnya.
Karena keengganan tadi, kesehatan anak-anak tunagrahita seringkali terabaikan. Apalagi, soal kesehatan mulut, gigi, mata dan telinga. Mereka tak pernah bisa mengurus dirinya sendiri. ”Nah, bagian-bagian tersebut kalau tidak dirawat menjadi tempat bersarangnya bibit penyakit,” kata Adiningrum.
Oleh sebab itu dalam acara ”Healthy Athletes Program” ini mencakup lima program utama yang bertujuan untuk meningkatkan kesehatan fisik, keberanian dan kepercayaan diri para atlet Special Olympics yang memiliki ketidakmampuan intelektual.
Fun Fitness (pelatihan olahraga atau fisioterapi) serta Health Promotion (peningkatan kesehatan secara menyeluruh) merupakan dua program yang bertujuan mengenalkan olahraga kepada anak tunagrahita.
Sedangkan tiga program lainnya, yakni Spesial Smile (pemeriksaan kesehatan gigi dan mulut), Opening Eyes (kesehatan mata) serta Healthy Hearing (kesehatan telinga) bertujuan untuk meningkatkan kesehatan fisik mereka. ”Tahun ini kami akan mengadakan special smile dan opening eyes dengan melibatkan 16 dokter mata dan dokter gigi dari 6 negara ASEAN termasuk Indonesia,” kata Sri Soemarsi.
Temuan ironis yang diperoleh SOIna, bahwa dari jumlah populasi penduduk Indonesia yang mencapai 220 juta jiwa, 6,3 juta di antaranya tergolong tunagrahita dengan parameter tingkat intelegensi (IQ) di bawah 70. Bahkan Koordinator Nasional SOIna Avi Tania, menerima laporan 4-5 anak tunagrahita di wilayah Makassar, setiap tahunnya meninggal dunia karena tidak mendapat perlakuan yang wajar.
Akibat lemahnya dukungan dari lingkungan wajar bila Sri Soemarsih mengelus dada. ”Masih banyak orang tua yang merasa malu dan minder jika punya anak yang terbukti memiliki keterbatasan intelektual.” Padahal, dengan mendukung aktivitas mereka dalam berolahraga, setidaknya kita telah memberikan semangat dan harapan untuk hidup dalam keberdayaan.
(SH/bayu dwi mardana/mohamad ridwan)

Sumber : Sinar Harapan